Mengakomodir Perbedaan Karakter Anak

akomodir-perbedaan-anakBu Sisca memiliki 4 orang anak. Anak pertama dan kedua laki-laki, sedangkan anak ketiga dan keempat perempuan. Meskipun sama laki-laki, anak pertama dan kedua terlihat sangat berbeda satu sama lain. Anak pertamanya terlihat sangat pemalu, mudah sekali menangis, dan ingin selalu dekat dengan orangtuanya.



Sementara anak keduanya justru sebaliknya, ia banyak bergerak, jauh Iebih berani, dan sifatnya keras sekali. Saat keduanya bertengkar, si adik terlihat Iebih dominan dibandingkan si kakak yang cenderung Iebih mengalah.

Lain lagi anak perempuan Ibu Sisca, putri ketiganya tergolong anak yang suka bicara, suka bergaul, banyak teman, suka mengatur, dan selalu saja bertanya atau berkomentar mengenai sesuatu hal yang dilakukan oleh ibunya.

Dan yang terakhir, putri keempatnya yang masih berusia 5 tahun punya hobi menggambar, suka menyendiri, mudah sekali diatur, cenderung penurut, dan tidak banyak menuntut seperti kakak perempuannya.

Hingga saat ini, Ibu Sisca masih mengalami kesulitan dalam mendidik anak-anaknya karena mereka berbeda satu sama lain. Kebiasaan yang terburuk yang sering dilakukannya adalah ia selalu membanding-bandingkan anak yang satu dengan anak lainnya yang dianggap berperilaku Iebih baik. Dan, hal inilah yang justru akan menimbulkan dampak psikologis yang buruk pada masing-masing anak. Ibu Sisca kerap kali mengeluhkan perilaku anaknya yang semakin sulit dididik. Ia selalu berkilah, “Padahal dalam mendidik, saya tidak pernah membeda-bedakan mereka lho….”

Pertanyaan besar bagi kita semua, jika anak-anak memang secara alamiah berbeda satu sama lain, apakah mereka bisa dididik dengan pola yang sama? Ataukah dididik dengan pola yang berbeda yang disesuaikan dengan ciri dan kebutuhan masing-masing anak?

a. Fitrah manusia pada umumnya
Tidak ada sidik jari manusia yang sama. Oleh karena itu, Interpol menggunakan sidik jari sebagai identitas individu. Bayangkan dengan jumlah penduduk dunia yang berjumlah Iebih dari 6 miliar ini, ternyata belum pernah ditemukan sidik jari yang sama di antara mereka. Itulah yang membuktikan bahwa setiap manusia berbeda. Dan, perbedaan itu sesungguhnya adalah hal yang sangat alami. Ya…, masing-masing kita berbeda dengan individu lainnya, tentunya dalam banyak hal. Itulah fitrah manusia, meskipun satu bapak dan satu ibu, kita secara pribadi berbeda dengan saudara-saudara kandung lainnya, bahkan yang terlahir kembar sekalipun. Dan, itu juga berlaku untuk setiap anak-anak yang kita cintai. Jadi, sebenarnya tidak bijaksana jika orangtua membanding-bandingkan perilaku anak yang satu dengan anak lainnya karena peruntukan mereka kelak berbeda. Anak yang penurut mungkin kelak akan menjadi pegawai. Sementara, anak yang sulit diatur mungkin kelak akan menjadi pemimpin perusahaan. Perhatikan saja, hampir 90% pemimpin yang sukses di perusahaan-perusahaan besar adalah orang-orang yang berwatak keras kepala, sebaliknya sekitar 90% stafnya adalah pelaksana-pelaksana yang patuh menuruti perintah atasannya.

b. Keinginan kita melalui anak vs keinginan Tuhan melalui anak kita
Fenomena sebagian besar orangtua dalam mendidik anak adalah berusaha untuk menjadikan anak sebagai objek dari keinginan orangtuanya. Bahkan tak jarang orangtua yang merasa cita-citanya dulu tidak tercapai, lalu dipaksakan cita-cita itu melalui anaknya.

Sebenarnya boleh-boleh saja apabila memang si anak juga memiliki cita-cita atau keinginan yang sama dengan orangtuanya. Namun jika tidak, sesungguhnya orangtua tidak berhak memaksakannya.

Perbedaan besar yang terjadi antara sistem pendidikan zaman dulu dan sekarang terletak pada aspek pencapaian. Pada zaman dahulu, orangtua dan guru mendidik anak-anak agar memenuhi keinginan mereka. Sementara, pada zaman modern seperti sekarang ini, mendidik merupakan suatu upaya untuk membimbing anak menemukan keinginan Tuhan dalam dirinya.

Cukup sudah… Jangan kita ulangi lagi kesalahan yang sama pada anak kita. Anak-anak terlahir karena keinginan dari Tuhan. Jadi, mari kita berusaha menggali apa keinginan Tuhan melalui anak-anak kita. Salahkah mereka jika berbeda dengan kita? Tentu saja tidak. Perbedaan ini adalah keniscayaan yang menghasilkan harmoni hidup sehingga saling melengkapi satu sama lain.

* Artikel ini dikutip dari buku Mendidik Anak Zaman Sekarang Ternyata Mudah Lho…, Ayah Edi (Tangga Pustaka: 2008).  Buku ini menjelaskan secara mudah bagaimana mendidik anak dari berbagai aspek sehingga orangtua dan anak mendapatkan tempatnya secara proporsional dalam mencapai cita-citanya. Lihat synopsis buku.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *