“Ayah, saya dengar anak Ayah home schooling, ya. Wah, Ayah pasti repot sekali. Sudah jadi pembicara di mana-mana, tapi masih sempat meng-homeschooling-kan anak. Padahal pelajaran sekolah ‘kan bukan main banyaknya. SD saja ada 16 mata pelajaran lho, Yah!” ungkap seorang ibu kepada Ayah Edi, mungkin karena terheran-heran.
Sebenarnya tidaklah demikian, Ayah Edi menjawab ucapan si ibu, “Oh, saya sama sekali tidak merasa direpotkan Bu. Karena mata pelajaran buat anak saya hanya dua. Pertama, bermain kreatif apa saja sesuai imajinasinya. Kedua, mengetahui yang salah dan yang benar, serta bagaimana agar tetap hidup benar di lingkungan yang salah.”
Anda mungkin bisa mengerti dari dialog di atas. Si ibu masih beranggapan bahwa home schooling adalah seperti sekolah pada umumnya, namun proses belajar mengajarnya di rumah. Ia beranggapan home schooling sama dengan memindahkan pelajaran-pelajaran sekolah ke rumah. Padahal, lahirnya home schooling sendiri dari bentuk ketidakpercayaan para orangtua di Eropa terhadap sistem sekolah sekitar pada tahun 1990-an.
Di Indonesia, sayangnya dari 16 mata pelajaran yang diwajibkan di sekolah, tidak ada yang mengajarkan anak bermain, hingga mayoritas kita hidup seperti robot. Sangat serius, tidak memiliki rasa humor, gampang stres, gampang tersinggung, dan gampang marah. Akibatnya, tak heran apabila kita akrab dengan berbagai macam penyakit, dari migrain, maag, insomnia hingga hipertensi. Apotik pun menjamur untuk memasok obat bagi generasi yang salah kurikulum ini.
Dari 16 mata pelajaran yang katanya hebat dan sudah distandarisasi itu, sayangnya tak satu pun yang mengajari anak-anak untuk membedakan mana yang salah dan benar, mana yang haq dan mana yang bathil, serta bagaimana agar tetap hidup benar di lingkungan yang salah. Padahal, ajaran yang berasal dari seorang sufi Turki ini adalah kunci yang membuat sebuah bangsa dan peradaban mengalami masa keemasannya.
Lengkaplah sudah penghancuran bangsa oleh kurikulum pendidikan kita. Sungguh, 16 mata pelajaran telah menghasilkan generasi dan masyarakat yang rusak! Hanya tinggal menunggu waktunya, kapan Indonesia tercabik-cabik. Lihat saja, daerah dan provinsi di Indonesia terus bermekaran, tapi tak bertambah baik karena hanya untuk menghabiskan anggaran dan memperluas wilayah lahan korupsi.
Demikian sebagian isi renungan Ayah Edi yang dituangkan ke dalam bukunya, Membangun Indonesia yang Kuat dari Keluarga! Melalui buku ini, ia mengajak segenap rakyat Indonesia untuk memperhatikan pendidikan anak-anaknya pada proses perkembangannya agar mereka menjadi generasi yang kuat, berkualitas, bermoral, dan sekaligus kreatif.
Buku yang diterbitkan Tangga Pustaka ini dibagi ke dalam lima bab, mulai dari bab membesarkan manusia hebat, pendidikan yang seharusnya membebaskan, anak dan candu dunia, kasih ayah, cinta bunda bahagia ananda, hingga mencubit diri sendiri. Setiap bab berisi berbagai sentilan atau sindiran yang faktual, berada di sekitar kita, bahkan hal itu terjadi setiap waktu di rumah kita.