Salah satu bisnis saya pernah mengalami masalah, yaitu kekurangan stok barang. Namun, saat akan membelinya, saya diharuskan membeli 3 kali lipat dari jumlah yang seharusnya. Kalau membeli dalam jumlah normal, harganya tentu jauh lebih mahal. Di tengah kebingungan, akhirnya salah satu rekan saya mau memberikan pinjaman dana segar, tetapi dengan bunga 3% per bulan.
Jika kami membeli dengan uangnya dan dalam waktu paling lama 3 bulan dan barang sudah habis terjual, berarti kami akan menikmati keuntungan yang sangat besar. Namun, jika 7 bulan barang baru habis, sama saja dengan membeli dengan harga stok normal. Berarti tidak untung secara materi, tetapi rugi tenaga. Jika lebih dari 9 bulan barang baru habis, sudah pasti merugi. Sebuah keputusan dilematis yang menantang adrenalin seorang entrepreneurship sejati.
Setelah kami rapatkan dengan seluruh tim dan manajemen, kami optimis dalam 3 bulan barang akan habis terjual. Strategi disiapkan jauh sebelum barang datang. Maka, begitu barang tiba, beberapa stok sudah dipesan, dan dalam 2 bulan kami habiskan stok tersebut. Sungguh sebuah taruhan yang menegangkan, tetapi hal tersebut tidak membuat kami jera. Bahkan, hingga saat ini kami masih memilih berutang untuk stok barang agar lebih memacu adrenalin dan kerja kami.
Demikianlah kisah yang diungkapkan Mardigu WP di dalam bukunya Kebelet Kaya. Di sini kita melihat ada perbedaan antara seorang entrepreneur dan ordinary people (orang kebanyakan). Jika ada sebuah fenomena, seorang entrepreneur akan langsung melihat sebuah peluang. Sedangkan ordinary people, biasanya akan melihat sesuatu yang sulit, negatif, ancaman, atau bahkan tidak dapat melihat apa-apa. Jika ternyata keduanya melihat peluang, ordinary people tidak berani menjalankan peluang tersebut dan biasanya hanya berkomentar terhadap fenomena itu. Namun, bagi seorang entrepreneur, mereka berani melakukannya dan mengambil risiko.
Jika ternyata keduanya berani mengerjakan peluang yang mereka lihat, ordinary people biasanya akan menggunakan uang sendiri untuk mengerjakan. Sedangkan entrepreneur, akan membaginya dengan orang lain untuk mengurangi risiko dan membagi keuntungan dengan mitranya. Entrepreneur berprinsip lebih baik untung 10% yang didapat dari 10 mitra usaha daripada 100% usaha sendiri.
Mitos yang mengatakan utang akan membawa petaka berakar sangat kuat di kalangan budaya aristokrat. Utang akan menjadi petaka jika dipakai untuk sesuatu yang tidak produktif atau dibelanjakan untuk kepentingan konsumtif. Itulah yang celaka. Namun sebenarnya, jika tahu peluangnya besar, mengapa takut untuk berutang? Di dalam bisnis, berutang untuk tambahan modal kerja atau investasi itu adalah hal yang wajar.
Bagaimana dengan hati seorang entrepreneur? Pola pikir, zero prinsip, tugas, dan darah seorang entrepreneur? Bagaimana pula aturan main, budaya, dan sikap entrepreneur hingga berbisinis tanpa uang tunai? Temukan jawabannya secara terperinci di dalam buku terbitan Tangga Pustaka ini.