Sebelum menikah, saya bersama rekan-rekannya mencoba membentuk usaha investasi. Investasi tersebut diberi nama PT Megasino Investama yang berdomisili di Gedung WTC, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta. Kami menggabungkan dana sebesar 400 juta rupiah dari kantong kami sendiri.

Walau belum pernah memegang perusahaan, saat itu saya dipercaya untuk memegang jabatan sebagai direktur operasional. Pertumbuhan perusahaan pada tahun pertama seakan tidak ada kesalahan dan kegagalan, semua meluncur dengan lancar dan melaju dengan cepat.

Pada tahun kedua, berkembang lebih baik dan rekening pribadi saya menembus bilangan miliar rupiah. Sangat arogan kalau saya mengingat diri waktu itu. Tanpa sadar, saya mengelola perusahaan dengan tidak memperhatikan kompetitor yang bermunculan. Mereka melakukan improvisasi yang jauh lebih menarik dibandingkan perusahaan yang saya kelola saat itu. Tanpa terasa, laporan keuangan kami mengalami penurunan bahkan pernah mencapai posisi terrendah.

Akhirnya, kami mengadakan rapat konsolidasi untuk mengantisipasi banyaknya kompetitor yang bermunculan, tentunya dengan merancang strategi baru dan melakukan inovasi produk yang menarik. Saya berusaha melakukan marketing inteligent dengan mengumpulkan informasi pada setiap kompetitor.

Dari data yang terkumpul, menjelaskan bahwa mereka memunyai produk yang lebih baik dari perusahaan kami. Kami berusaha menganalisa kesalahan kami, yaitu tidak menginvestasi keuntungan SDM atau fasilitas. Kami malah menikmati keuntungannya sehingga kesuksesan yang kami bangun perlahan menggerogoti perusahaan.

Akhirnya, banyak profesional kami yang berpindah. Kami mencoba melakukan perbaikan, tetapi tampaknya hal itu sudah sangat terlambat karena kami sudah kehilangan momentum. Akhirnya, kami harus menutup perusahaan tersebut dengan sebuah keputusan emosional. Perusahaan kami mungkin lebih awal berdiri, tetapi bukan yang terbaik.

Peristiwa ini membuat saya setuju akan kata-kata pakar entrepreneur R. Kiyosaki bahwa kesuksesan memang membuat kita Pe-De, tapi terkadang hal itu bukan menjadi guru yang baik.


Salah satu peserta school for entrepreneur bertanya kepada saya tentang kegagalan usaha yang dialaminya sehingga dia merasa lelah secara mental untuk berwirausaha. Saya banyak menemukan pertanyaan sejenis dalam keseharian ataupun dalam kelas. Dan, jawaban saya hampir sama bahwa kepandaian menyelesaikan setiap masalah akan mematangkan kemampuan bisnisnya. Itulah proses mastery. Sebuah masalah tidak akan pernah selesai karena hanya berubah bentuknya. Itu sebuah fakta yang harus dihadapi seorang entrepreneur. Banyak hal yang akan diuji dari seorang entrepreuner, yaitu kebijakan dan kesabarannya. Sebuah kegagalan yang terjadi di awal akan membuat fondasi lebih siap dan kokoh karena pada saat itulah justru kita sedang bersiap-siap atas semua kemungkinan buruk yang mungkin terjadi.

Kita sedang bersiap-siap atas semua buruk yang mungkin terjadi. Jangan terlena dengan kesuksesan yang dapat menjerumuskan. Oleh karena itu, pandai-pandailah mengelola kesuksesan agar tidak menjadi bumerang bagi diri sendiri. Banyak pengusaha yang terlalu mulus di awalnya bisnisnya sehingga mereka terlena dan tidak memiliki fondasi mental bisnis yang baik dan saya belajar hal tersebut dari pengalaman pribadi.

Bagi saya, kegagalan hanya sebuah proses, nikmati saja proses tersebut. Sebuah keberhasilan sifatnya hanya sementara, karena setelah itu akan ada lagi persoalan. Ketika sudah terselesaikan persoalan tersebut, dipastikan sebuah persoalan dalam bentuk lain akan muncul lagi. Hal itu akan terus-menerus terjadi. Namun, itu akan sangat mudah dilewati jika kita bisa memahami persoalan tersebut dengan baik. Jangan lari, tetapi selesaikanlah!

Mardigu WP, pengusaha properti dan pimpinan konsortium Rumah Yatim Indonesia

* Artkel ini dikutip dari buku Kebelet Kaya, Mardigu WP.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *